Quantcast
Channel: Riawani Elyta
Viewing all articles
Browse latest Browse all 600

#2 CURHAT SESSION : Beli buku....buat apa sih?

$
0
0


Pada curhat session 2 ini, saya mau ngobrol tentang buku. Ya. Buku. Benda yang sudah saya akrabi sejak belum bisa baca sampailah sekarang saat anak bungsu saya baru kenal huruf. Sedikit mengulas masa lalu, waktu seusia anak bungsu saya, mama sering membelikan saya buku-buku bergambar dan buku mengenal huruf. Setelah bisa baca, saya sering dibeliin buku kumpulan dongeng berwarna, yang sampai sekarang masih saya ingat beberapa gambar sampulnya.


Masuk usia sekolah, saya mulai jarang baca buku cerita, karena di kota saya lumayan sulit menemukan buku cerita anak. Untungnya mama langganan majalah termasuk majalah anak. Saya jadi tetap bisa melampiaskan hobi saya dengan baca majalah. Waktu itu langganan saya majalah Ananda dan Sahabat (keduanya sudah almarhum). Profil saya juga pernah dimuat di majalah Sahabat (ini majalah anak-anak Islami). Maklumlah, jaman SD dulu saya lumayan rajin ikut lomba-lomba mengaji. Dan dari sini, saya jadi punya hobi baru : korespondensi dan filateli. Jadi, setelah profil saya dimuat, saya jadi dapet banyak kiriman surat. Otomatis, saya punya banyak sahabat pena. Saya kumpulin surat-suratnya lalu saya ambil perangkonya untuk disimpan dalam album filateli. Dulu rasanya keren banget deh punya hobi ini. Saya dan teman-teman berlomba-lomba ngumpulin kertas surat yang cantik dan wangi, dan saya juga punya tempat khusus menyimpan surat berbentuk beruang.

Oh ya, saya juga senang baca majalah Femina punya mama. Saya senang lihat model-model baju, resep makanan juga kosmetik. Saya juga baca cerpen-cerpennya meski nggak ngerti-ngerti amat apa isinya.

Waktu itu, saya hanya kenal buku anak seri Trio Detektif punya sepupu saya. Berhubung sepupu saya tinggal di Jakarta, jadinya pas liburan kesana, saya habiskan waktu seharian buat baca seri Trio Detektif koleksinya.

Pas SMP, saya mulai rajin beli majalah-majalah remaja : Anita Cemerlang, Mode, Kawanku, Gadis dan Ceria (sebagian juga sudah almarhum). Pokoknya uang jajan habis deh buat beli majalah. Sesekali saya juga baca Doraemon, Lupus dan novel silat, hasil nyewa di sebelah sekolah. Asli, waktu itu rada kaget baca novel-novel silat lokal yang ternyata ada ehm-ehmnya, hehe. Lama-lama dilarang deh sama ortu. SMA sampe kuliah, bahkan sampe mulai kerja, saya mulai jarang baca buku dan majalah. Saya juga nggak tahu kenapa. Mungkin karena teman-teman SMA dan kuliah saya waktu itu nggak hobi baca.

Barulah sekitar tahun 2005, setelah dipinjemin novel metropop sama temen kantor, saya mulai ngeh kalau baca novel itu menyenangkan. Mulai deh duit gaji saya jadi punya tempat penampungan baru : toko buku. Boleh dibilang, setiap bulan saya rutin beli buku. Rutinitas yang masih berlanjut sampai sekarang, meski kadang hanya beli satu buku dalam sebulan.

Saya termasuk pembaca banyak jenis dan genre. Ya fiksi, non fiksi, memoar, antologi, novel, dan lain-lain. Saya ingat, pas Lebaran kemarin pulkam dan shopping di Gramedia, kakak saya terheran-heran lihat saya masih beli novel remaja. Katanya, “Masih seneng baca gituan?”

Nyatanya memang begitu. Novel anak aja saya masih baca. Tetapi, saya tetap punya alasan saat beli buku. Kalian mungkin pingin tahu pertimbangan dan alasan saya saat beli buku? 

Ini dia :
Pertama – sebagai sumber referensi / inspirasi / pendamping.
Adakalanya saya membutuhkan ilmu dan informasi yang lebih mendalam tentang sesuatu, yang tidak tuntas jika hanya bermodal browsingdi internet. Lagipula, mata saya gampang capek kalau baca tulisan di laptop dan di layar ponsel. Nah, pada saat inilah saya mencari buku referensi.

Sebagai penulis fiksi, saya juga butuh baca novel dengan genre yang sama dengan novel yang sedang saya tulis. Dan, jujur saja, saya bukan penulis yang bisa langsung mulai menulis (novel) dari nol. Minimal, saya butuh satu novel sejenis untuk mendampingi saya selama menulis. Tujuannya untuk mendapatkan “feel”nya dan menyerap nuansanya. Jadi ketika saya menulis novel romance misalnya, saya butuh untuk ditemani novel-novel romance juga agar selama menulis, saya tetap bisa bergerak pada track dan feel cerita romance, tidak melenceng ke aura novel horor atau dark misalnya. Pada saat inilah, saya mencari buku atau novel yang bisa menginspirasi dan mendampingi saya dalam menulis.

Kedua – karena penasaran
Sebagai pencinta buku, saya juga kerap kepo sama info-info terbaru tentang buku yang lagi happening. Misalnya saja, novel jebolan penulis pemenang DKJ 2014 yang sedang hangat dibicarakan. Saya langsung beli sampe tiga buku, hehe. Teman-teman saya lagi demen baca novel Nicholas Spark misalnya, karena penasaran, saya juga ikut beli dan baca. Tetapi, saya juga nggak asal langsung beli. Saya tetap cari-cari referensi, minimal di goodread, atau bertanya pada teman-teman sesama pencinta buku. Jadi, kalau pingin jadi pemamah buku, penting deh buat kita untuk berada di komunitas atau lingkungan yang juga suka baca buku.

Soal harga, bagaimana? Buat saya, kalau dua alasan di atas sudah terpenuhi, saya nggak terlalu mikir soal harga. Yang penting nggak melampaui batas anggaran per bulan untuk beli buku. Emang kadang rada sebel juga sih. Karena 4-5 tahun dulu, bawa duit seratus ribu ke toko buku, saya udah bisa beli 3-4 buku. Tetapi sekarang, duit segitu hanya cukup untuk 2 buku, bahkan kadang hanya satu, mengingat di kota saya, susah banget nemu buku harga di bawah 60 ribu. Untuk mengakalinya, khusus buku-buku long lasting seperti seri Enid Blyton atau Agatha Christie, saya beli obral sama temen yang punya lapak buku online. Tetapi untuk buku-buku baru, saya usahain nggak beli obral. Soalnya, sebagai penulis yang pernah ngerasain dapet royalti dari harga buku obral, ada rasa sedih juga di dalam hati ini. Kok ya kerja "otak" di negeri ini hanya dihargai segitu?

Belakangan, saya kerap ketemu status penulis di socmed yang mengeluhkan betapa suramnya kondisi perbukuan sekarang, juga tentang penulis buku yang rame-rame pindah ke bidang penulisan lain yang lebih “basah”.  Meski itu emang fakta, menurut hemat saya sih, mengeluhnya cukup sekali-kali ajalah, karena energi negatif yang dipublikasi di tempat umum seperti socmed itu gampang menular, begitu juga dengan energi positif. Jadi, lebih baik kita banyak menulis yang dapat menularkan virus positif, termasuk virus positif tentang pentingnya minat baca (buku). Karena hobi membaca buku akan menggiring kita pada proses pemikiran dan pemahaman yang lebih mendalam, yang tidak bisa kita peroleh dengan hanya baca-baca artikel di internet. (baca juga yuk tulisan saya yang ini : Membangun Spiritualitas Modern di Era Digital : Kemajuan, atau Pendangkalan?)

Nah, buat kalian yang suka baca buku, biasanya beli buku karena pertimbangan apa nih? Apa karena kebutuhan, or udah ngefans ama penulis dan karya-karyanya, atau ada alasan lain? Kita saling share cerita yuk. Dan mari kita sama-sama menularkan virus positif suka baca (buku) :)


Viewing all articles
Browse latest Browse all 600

Trending Articles


Girasoles para colorear


mayabang Quotes, Torpe Quotes, tanga Quotes


Tagalog Quotes About Crush – Tagalog Love Quotes


OFW quotes : Pinoy Tagalog Quotes


Long Distance Relationship Tagalog Love Quotes


Tagalog Quotes To Move on and More Love Love Love Quotes


5 Tagalog Relationship Rules


Best Crush Tagalog Quotes And Sayings 2017


Re:Mutton Pies (lleechef)


FORECLOSURE OF REAL ESTATE MORTGAGE


Sapos para colorear


tagalog love Quotes – Tiwala Quotes


Break up Quotes Tagalog Love Quote – Broken Hearted Quotes Tagalog


Patama Quotes : Tagalog Inspirational Quotes


Pamatay na Banat and Mga Patama Love Quotes


Tagalog Long Distance Relationship Love Quotes


BARKADA TAGALOG QUOTES


“BAHAY KUBO HUGOT”


Vimeo 10.7.0 by Vimeo.com, Inc.


Vimeo 10.7.1 by Vimeo.com, Inc.